Sektor hulu minyak dan gas bumi (Migas) tetap menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional dan sumber signifikan penerimaan negara. Meskipun tren global bergerak menuju energi terbarukan, kebutuhan Indonesia akan energi fosil dalam beberapa dekade ke depan tetap tinggi, menuntut eksplorasi dan eksploitasi yang lebih agresif. Fokus utama saat ini bergeser ke wilayah lepas pantai (offshore), area yang menyimpan potensi cadangan besar namun disertai tantangan teknologi dan biaya yang tinggi. Upaya pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kini terpusat pada Peningkatan Produksi Minyak dan gas, khususnya dari wilayah laut dalam.
Potensi cadangan migas di lepas pantai Indonesia sangat besar, diperkirakan mencapai lebih dari 70% dari total cadangan nasional yang belum dieksplorasi, terutama di cekungan laut dalam di timur Indonesia. Namun, Peningkatan Produksi Minyak dari lapangan offshore menghadapi tiga tantangan utama. Pertama, adalah tantangan teknologi. Pengeboran dan produksi di laut dalam, dengan kedalaman hingga ribuan meter, memerlukan kapal pengeboran canggih, subsea facilities, dan teknik komplesi sumur yang jauh lebih mahal dan kompleks dibandingkan di darat (onshore).
Kedua, adalah risiko finansial yang tinggi. Biaya eksplorasi satu sumur laut dalam dapat menelan biaya ratusan juta dolar. Risiko kegagalan sumur kering membuat investor ragu. Untuk mengatasi ini, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah memperkenalkan skema kontrak yang lebih menarik, seperti skema Gross Split dengan ketentuan bagi hasil yang lebih fleksibel, untuk mendorong investasi. Data investasi per 30 Juni 2025 menunjukkan adanya kenaikan komitmen investasi eksplorasi sebesar 15% dari tahun sebelumnya, dipimpin oleh proyek-proyek laut dalam di Blok Masela dan Andaman. Peningkatan Produksi Minyak sangat bergantung pada keberanian investasi jangka panjang ini.
Ketiga, adalah tantangan Enhanced Oil Recovery (EOR) atau upaya peningkatan perolehan minyak. Sebagian besar lapangan migas Indonesia sudah tua (mature), termasuk beberapa di lepas pantai. Cadangan yang tersisa seringkali sulit diekstrak dengan metode konvensional. Penerapan teknologi EOR, seperti injeksi gas (CO2 EOR) atau injeksi kimia, sangat penting untuk memaksimalkan potensi lapangan yang ada. Pada September 2025, Pertamina Hulu Energi (PHE) dilaporkan memulai studi kelayakan untuk proyek CO2 EOR di beberapa lapangan offshore di Kalimantan Timur, menandakan langkah konkret dalam memaksimalkan sumber daya yang ada.
Peluang keberhasilan Peningkatan Produksi Minyak dan gas di lepas pantai akan memberikan manfaat ganda: menjamin pasokan energi dalam negeri dan memperkuat posisi Indonesia di pasar energi global. Langkah-langkah strategis yang diambil, termasuk reformasi kebijakan fiskal dan dukungan teknologi untuk eksplorasi laut dalam, menunjukkan komitmen kuat pemerintah untuk memanfaatkan “Emas Hitam” ini secara optimal demi mendukung pembangunan nasional.